Sunday, 6 February 2011

PERADABAN ISLAM

Kaum Muslim menyebarkan agamanya. Ternyata mereka bukan
hanya orang-orang yang pandai berbuat tetapi juga rajin
belajar. Secara politis, pemerintah-pemerintah Muslim
menyadari keterbatasan mereka dan kemajuan banyak kerajaan
dan kebudayaan yang ditaklukkan oleh tentara-tentara mereka.
Lembaga-lembaga lokal, gagasan-gagasan, dan
personil-personil diasimilasi dan diadaptasi dengan
norma-norma Islam agar para pembesar Islam dapat mengambil
pelajaran dari pengetahuan mereka yang sudah lebih maju.
Perpustakaan-perpustakaan besar serta pusat-pusat
penerjemahan didirikan; buku-buku penting yang berisi ilmu
pengetahuan, kedokteran, dan filsafat Barat dan Timur
dikumpulkan dan diterjemahkan, seringkali oleh orang-orang
Kristen dan Yahudi, dari bahasa Yunani, Latin, Persia,
Koptik, Syria, dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab. Dengan
begitu, buku-buku sastra, ilmu pengetahuan, dan kedokteran
menjadi lebih mudah didapat.

Zaman penerjemahan diikuti oleh suatu periode kreativitas

besar, karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir
Muslim yang terpelajar kini membangun dengan ilmu
pengetahuan yang mereka peroleh dan memberikan sumbangan
mereka dalam bidang penuntutan ilmu. "Proses pengislaman
tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh daripada
sekadar mengintegrasikan dan memperbaiki. Hal itu telah
menghasilkan energi kreatif yang luar biasa. Periode
kekhalifahan merupakan salah satu pengembangan
kebudayaan."[1] Itulah zaman tokoh-tokoh besar filsafat dan
ilmu pengetahuan: Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi.
Pusat-pusat utama belajar, dengan perpustakaan-perpustakaan
besar, bermunculan di Kordova, Palermo, Nisyapur, Kairo,
Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, mengungguli Eropa yang
tenggelam dalam abad-abad kegelapan. Kehidupan kebudayaan
dan politik para Muslim dan juga non-Muslim di kerajaan dan
negara Islam dilakukan di dalam kerangka Islam dan bahasa
Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku.
Gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang baru diislamkan dan
diarabisasikan. Peradaban Islam merupakan produk dinamika
dan proses kreatif suatu perubahan dimana orang-orang Islam
meminjam kebudayaan lain secara bebas. Hal itu menunjukkan
adanya keterbukaan dan keyakinan diri yang timbul karena
kedudukan sebagai penguasa, bukan hamba, penakluk dan bukan
yang ditaklukkan. Berbeda dengan abad ke-20, kaum Muslim
pada saat itu merasa mengendalikan dan aman. Mereka merasa
bebas meminjam dari Barat, karena identitas dan otonomi
mereka tidak terancam oleh ancaman dominasi politik dan
kebudayaan. Mereka meminjam, tetapi mereka juga memberikan
warisan kepada Barat. Pola lalu-lintas kebudayaan
sebelumnya, berbalik ketika Eropa, yang bangkit dari
abad-abad kegelapan, mengubah pusat-pusat belajar kaum
Muslim dengan tujuan memperbaiki kembali
peninggalan-peninggalan yang hilang dan belajar dari
kemajuan-kemajuan orang-orang Islam dalam bidang matematika,
kedokteran, dan sains.

[1]:

Marshall G.S. Hedgson, The Venture of Islam, 3 jilid